Pengelolaan sampah di Indonesia telah menjadi salah satu tantangan terbesar selama beberapa dekade terakhir. Dengan laju pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang cepat, volume sampah yang dihasilkan meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Hal ini menciptakan tekanan besar pada sistem pengelolaan sampah di berbagai daerah, yang pada umumnya masih belum memadai untuk menangani masalah ini secara komprehensif. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan menghadapi tantangan besar dengan semakin banyaknya tumpukan sampah yang harus dikelola. Sampah organik, plastik, dan limbah rumah tangga lainnya terus menumpuk di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), menyebabkan beban lingkungan yang semakin berat.
Keterbatasan anggaran memperparah permasalahan yang sudah ada, termasuk pengelolaan TPA yang buruk, kapasitas pengolahan yang tidak memadai, dan kurangnya program edukasi publik tentang pengelolaan sampah. Banyak daerah yang terpaksa hanya mengandalkan solusi jangka pendek, seperti membuang sampah ke TPA tanpa pengolahan lebih lanjut, yang hanya memperpanjang masalah. Padahal, negara-negara lain yang memiliki sistem pengelolaan sampah yang lebih baik menunjukkan bahwa investasi yang cukup pada pengelolaan sampah, termasuk pemanfaatan teknologi pengolahan limbah dan program daur ulang, dapat mengurangi beban lingkungan dan menciptakan manfaat ekonomi.
Mengingat pentingnya masalah ini, pemerintah perlu segera merealokasi anggaran yang lebih besar untuk pengelolaan sampah di daerah. Hal ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga terkait dengan kelangsungan hidup lingkungan di masa depan. Jika alokasi anggaran tetap minim, dampak negatif yang ditimbulkan oleh sistem pengelolaan sampah yang tidak efisien akan semakin meluas, mencakup pencemaran lingkungan, masalah kesehatan masyarakat, hingga kerugian ekonomi akibat rusaknya daya dukung lingkungan.
Sebagai masyarakat, kita juga perlu lebih vokal dalam menyuarakan isu ini dan menuntut pemerintah untuk mengambil tindakan yang lebih serius. Sistem pengelolaan sampah yang efektif membutuhkan komitmen kuat dari berbagai pihak, termasuk alokasi anggaran yang memadai, edukasi publik, dan partisipasi masyarakat. Tanpa langkah-langkah konkret, tantangan ini akan terus menghantui Indonesia dan mengancam kualitas lingkungan hidup kita di masa depan.
Realitas Alokasi Anggaran
Realitas alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah di Indonesia mengungkapkan masalah mendasar dalam prioritas pemerintah daerah. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, banyak daerah hanya mengalokasikan sekitar 0,51% dari total APBD mereka untuk pengelolaan sampah. Angka ini jauh di bawah rekomendasi para ahli yang menyarankan alokasi minimal 3-4% dari total APBD untuk membangun sistem pengelolaan sampah yang memadai. Alokasi yang minim ini secara langsung berdampak pada kualitas layanan pengelolaan sampah, termasuk pengumpulan, pengangkutan, dan pengolahan yang tidak optimal. Belum lagi Jika dibandingkan dengan ngeara lain yg sangat memiliki concern terhadap circular economy seperti Korea Selatan dan Denmark, anggaran didaerah nya bisa sampai dengan 7-8 % didaerah tersebut.
Keterbatasan anggaran ini menyebabkan mayoritas daerah masih mengandalkan metode tradisional, yaitu mengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa proses pemilahan atau daur ulang terlebih dahulu. Akibatnya, volume sampah yang mengalir ke TPA terus meningkat, dan banyak TPA di Indonesia telah berada di ambang kapasitas maksimal. Menurut laporan KLHK, sekitar 80% TPA di Indonesia menggunakan sistem open dumping, yang tidak ramah lingkungan dan menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat sekitar.
Masalah ini juga dipengaruhi oleh kebijakan politik anggaran di tingkat legislatif. Di banyak daerah, DPRD yang memiliki otoritas dalam persetujuan APBD kurang memberikan perhatian yang serius terhadap isu lingkungan, terutama pengelolaan sampah. Kebijakan anggaran sering kali lebih berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan atau gedung, sementara kebutuhan penting seperti pengelolaan limbah kurang mendapat perhatian. Ini merupakan salah satu contoh di mana proses legislasi yang ada belum berpihak pada kelestarian lingkungan.
Politik anggaran di Indonesia juga dipengaruhi oleh kurangnya insentif bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana lebih besar bagi pengelolaan sampah. Tidak adanya penghargaan atau penalti yang signifikan terkait dengan kinerja pengelolaan sampah membuat pemerintah daerah tidak terdorong untuk meningkatkan alokasi anggarannya. Akibatnya, masalah ini terus berlarut-larut tanpa ada perbaikan signifikan.
Kita membutuhkan reformasi dalam politik anggaran di tingkat pusat dan daerah, terutama dengan memperkuat pengawasan dan akuntabilitas terhadap penggunaan anggaran. DPR dan DPRD harus lebih proaktif dalam memastikan bahwa alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah lebih proporsional dan sejalan dengan kebutuhan lingkungan yang semakin mendesak. Selain itu, insentif bagi daerah yang berhasil mengelola sampah dengan baik juga perlu diberikan, baik dalam bentuk penghargaan maupun alokasi tambahan dana dari pemerintah pusat. Dengan perubahan kebijakan yang berpihak pada lingkungan, kita dapat memperbaiki kondisi pengelolaan sampah dan menciptakan dampak positif bagi masyarakat.
Dampak Terbatasnya Anggaran
Minimnya anggaran yang dialokasikan untuk pengelolaan sampah di Indonesia tidak hanya berdampak pada ketidakmampuan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dalam menampung volume sampah yang terus meningkat, tetapi juga menyebabkan sejumlah konsekuensi berbahaya, baik bagi lingkungan maupun kesehatan masyarakat. TPA di berbagai daerah sudah mendekati kapasitas maksimal, dengan TPA Bantargebang sebagai contoh yang paling mencolok. TPA ini menampung lebih dari 39 juta ton sampah dan diprediksi akan mencapai kapasitas penuhnya dalam waktu dekat. Timbunan sampah yang terus menggunung tidak hanya mencemari tanah dan air tanah di sekitarnya, tetapi juga mengeluarkan gas metana yang berbahaya.
Gas metana yang dihasilkan dari timbunan sampah organik di TPA merupakan gas rumah kaca yang jauh lebih kuat daripada karbon dioksida dalam menyebabkan pemanasan global. Menurut laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP), metana memiliki potensi pemanasan global yang 25 kali lebih kuat daripada CO2 dalam jangka waktu 100 tahun. Jika TPA tidak dikelola dengan baik, gas ini akan terus dilepaskan ke atmosfer, memperburuk masalah perubahan iklim global. Selain itu, gas metana juga sangat mudah terbakar, sehingga menimbulkan risiko kebakaran di area TPA, yang dapat membahayakan masyarakat di sekitar lokasi.
Selain dampak lingkungan yang parah, minimnya anggaran juga mempengaruhi kurangnya investasi dalam pengembangan infrastruktur daur ulang di Indonesia. Jumlah fasilitas daur ulang masih sangat terbatas, baik dari segi kuantitas maupun kapasitas. Menurut data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), dari total sampah yang dihasilkan di Indonesia, hanya sekitar 9% yang didaur ulang. Sementara sisanya, sebagian besar sampah plastik, berakhir di TPA atau mencemari sungai dan laut. Indonesia saat ini dikenal sebagai salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di lautan dunia, dengan diperkirakan 620.000 ton plastik yang dibuang ke laut setiap tahun. Sampah plastik yang mencemari ekosistem perairan berpotensi menyebabkan kerusakan pada ekosistem laut dan mengancam satwa liar, termasuk terumbu karang, ikan, penyu, dan burung laut.
Bahaya dari minimnya anggaran tidak berhenti di situ. Pengelolaan sampah yang buruk juga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat sekitar. TPA yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi sarang penyakit. Banyak studi yang mengaitkan keberadaan TPA yang tidak teratur dengan meningkatnya kasus infeksi saluran pernapasan, diare, dan penyakit kulit pada masyarakat yang tinggal di dekat TPA. Hal ini disebabkan oleh polusi udara dan air yang dihasilkan oleh timbunan sampah. Lindi, atau cairan yang berasal dari dekomposisi sampah, dapat meresap ke dalam tanah dan mencemari sumber air tanah, yang banyak digunakan oleh penduduk setempat sebagai sumber air minum.
Kurangnya alokasi anggaran juga berdampak pada rendahnya edukasi dan partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan sampah. Tanpa dana yang memadai, pemerintah daerah kesulitan untuk menjalankan program sosialisasi dan kampanye pengelolaan sampah yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Padahal, partisipasi masyarakat sangat penting dalam pengelolaan sampah yang efektif, mulai dari pemilahan sampah di tingkat rumah tangga hingga kesadaran untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Secara keseluruhan, minimnya anggaran pengelolaan sampah telah menciptakan dampak negatif yang berkelanjutan bagi lingkungan, kesehatan masyarakat, dan ekosistem laut. Solusi yang dibutuhkan tidak hanya sebatas peningkatan alokasi anggaran, tetapi juga komitmen kuat dari pemerintah pusat dan daerah, dukungan kebijakan yang berpihak pada lingkungan, serta partisipasi aktif dari masyarakat. Dengan tindakan yang tepat, Indonesia dapat membalikkan tren ini dan menuju ke arah pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Potensi Ekonomi dari Pengelolaan Sampah yang Baik
Pengelolaan sampah di Indonesia menyimpan potensi ekonomi yang besar jika diterapkan dengan benar melalui pendekatan ekonomi sirkular. Sebagai contoh, sampah organik dapat diubah menjadi kompos atau biogas, yang berfungsi sebagai sumber energi terbarukan sekaligus pengganti pupuk kimia. Sampah anorganik, seperti plastik dan kertas, juga bisa didaur ulang menjadi produk industri yang bernilai ekonomis. Di negara-negara maju seperti Jerman, Jepang, dan Swedia, pendekatan ini sudah berjalan dengan baik. Melalui konsep ekonomi sirkular, mereka tidak hanya mengurangi timbunan sampah tetapi juga memanfaatkan sampah sebagai sumber daya untuk memproduksi energi dan material daur ulang yang bernilai tinggi.
Di Indonesia, meskipun infrastruktur pengelolaan sampah belum sepenuhnya optimal, sudah mulai muncul inisiatif yang mendukung ekonomi sirkular. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah bank sampah, yang melibatkan masyarakat dalam proses pemilahan dan pengumpulan sampah yang memiliki nilai jual, seperti plastik, kertas, dan logam. Sampah-sampah ini kemudian dikirim ke pabrik daur ulang untuk diolah menjadi produk baru. Inisiatif seperti bank sampah memberikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat, sekaligus mengurangi beban lingkungan akibat timbunan sampah.
Namun, skala dari gerakan ini masih terbatas dan infrastruktur yang memadai, seperti fasilitas daur ulang, belum tersebar merata di seluruh daerah. Oleh karena itu, upaya untuk mendorong ekonomi sirkular melalui pengelolaan sampah di Indonesia masih perlu pengembangan lebih lanjut.
Circularva, sebagai salah satu pelaku dalam ekosistem pengelolaan sampah, telah memperkenalkan metode inovatif melalui budidaya maggot yang terintegrasi. Maggot, yang merupakan larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF), dapat mengolah sampah organik dengan cepat dan efisien. Sampah organik yang diolah oleh maggot kemudian menghasilkan beberapa produk turunan bernilai tinggi, seperti pupuk organik dan protein hewani berkualitas tinggi. Protein dari maggot dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak, sementara pupuk organiknya dapat dimanfaatkan untuk pertanian, yang turut mendukung keberlanjutan sumber daya alam.
Dengan pengelolaan yang baik, Circularva juga telah membuktikan bahwa pendekatan ekonomi sirkular dapat berjalan secara efektif di Indonesia apabila dikerjakan dengan komitmen yang tinggi dan di agregratori secara profeional dan bertanggung jawab. Melalui integrasi budidaya maggot dalam pengelolaan sampah ini, circularva tidak hanya mengurangi volume sampah yang berakhir di TPA tetapi juga menciptakan nilai ekonomi dari limbah tersebut. Pendekatan ini menjadi contoh nyata bagaimana sampah yang awalnya dianggap sebagai masalah dapat diubah menjadi peluang ekonomi, sekaligus memberikan solusi terhadap krisis pengelolaan sampah di Indonesia.
Selain itu, Circularva juga mengembangkan ekosistem lebih luas dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam pentahelix approach, yakni kolaborasi antara pemerintah, akademisi, komunitas, dunia usaha, dan media. Pendekatan kolaboratif ini memungkinkan inovasi seperti budidaya maggot terintegrasi untuk dikembangkan lebih lanjut, sehingga dapat diterapkan di berbagai daerah di Indonesia dengan dampak yang lebih besar
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mencapai pengelolaan sampah yang efektif dan berkelanjutan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah:
- Meningkatkan Alokasi Anggaran: Anggaran yang dialokasikan untuk pengelolaan sampah harus dinaikkan secara signifikan. Setidaknya 3-4% dari APBD perlu dialokasikan untuk menangani masalah ini. Anggaran tersebut dapat digunakan untuk membangun infrastruktur daur ulang, memperbaiki sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah, serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pemilahan sampah.
- Pengembangan Infrastruktur Daur Ulang: Fasilitas daur ulang harus dibangun di seluruh daerah agar sampah tidak lagi hanya berakhir di TPA. Investasi dalam teknologi daur ulang juga perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa sampah dapat diproses dengan cara yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
- Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat: Selain infrastruktur, edukasi juga memegang peran penting dalam menciptakan perubahan perilaku di masyarakat. Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang pentingnya memilah sampah dan dampak dari pengelolaan sampah yang buruk terhadap lingkungan dan kesehatan mereka.
- Mendorong lebih dalam Partisipasi Komunitas dan Swasta: Sektor swasta dapat memainkan peran penting dalam menciptakan solusi pengelolaan sampah. Investasi swasta dalam teknologi daur ulang dan inovasi lain, seperti konversi sampah menjadi energi, harus didorong melalui insentif pajak atau kemitraan publik-swasta.
- Mengintegrasikan Ekonomi Sirkular: Prinsip ekonomi sirkular, yang berfokus pada penggunaan kembali, daur ulang, dan pengurangan limbah, harus diadopsi secara luas. Dengan ekonomi sirkular, sampah dipandang sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan kembali, bukan hanya sesuatu yang harus dibuang.
Kesimpulan
Tantangan pengelolaan sampah di Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi. Langkah pertama yang paling mendesak adalah meningkatkan alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah, yang saat ini masih berada di angka yang sangat rendah. Dengan dukungan anggaran yang lebih besar, pemerintah dapat membangun infrastruktur yang diperlukan untuk mengelola sampah secara efektif, mengurangi ketergantungan pada TPA, dan memaksimalkan potensi ekonomi dari sampah. Selain itu, edukasi dan partisipasi masyarakat juga sangat penting untuk mencapai perubahan perilaku yang diperlukan untuk mengatasi krisis sampah.
Dalam jangka panjang, pendekatan ekonomi sirkular yang mengutamakan pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang harus diadopsi secara luas untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Mari kita dorong pemerintah untuk menjadikan pengelolaan sampah sebagai prioritas anggaran, demi lingkungan yang lebih bersih dan masa depan yang lebih baik bagi kita semua.
Rujukan Sumber :
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Data Alokasi APBD Daerah. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Laporan Kinerja Pengelolaan Sampah di Indonesia. Diakses dari https://www.menlhk.go.id
- World Bank. (2021). Indonesia Marine Debris Hotspot Rapid Assessment. Diakses dari https://www.worldbank.org
- Soeparno, I. & Martono, E. (2022). Waste Management in Indonesia: A Policy Perspective. Jakarta: Pustaka Hijau.
- https://katadata.co.id/ekonomi-hijau/ekonomi-sirkular/66fe53fd5d5fd/sangat-minim-anggaran-daerah-untuk-pengolahan-sampah-rata-rata-kurang-dari-1