Yang Perlu Kita Semua Ketahui Dari TPA (Tempat Pembuangan Akhir)

September 20, 2024

Fakta, Sejarah dan Regulasi serta Inovasi yang seharusnya dilakukan dalam Pengelolaan-nya di Indonesia

Masalah sampah adalah salah satu tantangan besar yang dihadapi kota-kota besar di seluruh dunia, terutama di Indonesia. Setiap harinya, ribuan ton sampah dihasilkan oleh masyarakat yang perlu diangkut dan diproses di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Namun, seberapa banyak yang kita ketahui tentang keberadaan TPA, cara kerjanya, dan dampaknya? Artikel ini akan membahas sejarah, fakta unik, serta regulasi terkait TPA, dan bagaimana Circularva berkontribusi menciptakan solusi berkelanjutan.

Fakta Tentang TPA di Indonesia.

Sebelum membahas lebih jauh, berikut adalah beberapa fakta unik tentang TPA yang mungkin belum Anda ketahui:

  • TPA Bantar Gebang di Bekasi adalah salah satu TPA terbesar di dunia, menampung lebih dari 39 juta ton sampah. Setiap harinya, TPA ini menerima 7.000 ton sampah—cukup untuk menutupi lapangan sepak bola setinggi lebih dari 1 meter setiap hari.
  • Plastik adalah salah satu jenis sampah yang paling lama terurai. Sampah plastik dapat bertahan lebih dari 1000 tahun di alam sebelum benar-benar terurai. Plastik yang terbuang ini dapat mencemari tanah dan air, bahkan merusak ekosistem perairan.
  • Hanya 7% dari sampah di Indonesia yang didaur ulang. Sebagian besar sampah berakhir di TPA atau dibuang sembarangan, menciptakan masalah lingkungan yang semakin parah.
  • Gas metana yang dihasilkan dari TPA adalah gas rumah kaca yang lebih kuat daripada karbon dioksida. Gas ini terbentuk dari pembusukan sampah organik yang tidak dikelola dengan baik di TPA. Metana berkontribusi terhadap pemanasan global dengan efek yang 25 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida.
  • Beberapa TPA di Indonesia sudah memanfaatkan gas metana untuk pembangkit listrik. Meskipun ini langkah maju, pemanfaatan ini belum diterapkan secara luas di seluruh TPA di Indonesia.
  • Jumlah sampah Indonesia yang terus bertambah: Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan sekitar 67,8 juta ton sampah setiap tahun. Sebagian besar masih dikelola dengan cara dibuang ke TPA tanpa proses daur ulang yang signifikan.

Apa Itu TPA?

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah fasilitas di mana sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dikumpulkan, diproses, dan diurai. Di Indonesia, sebagian besar sampah yang berakhir di TPA adalah sampah organik, yang mencapai 65% dari total sampah. Sampah organik umumnya terdiri dari sisa makanan dan limbah rumah tangga yang mudah membusuk.

TPA berperan penting dalam menangani limbah perkotaan, namun banyak TPA yang masih menggunakan sistem “open dumping” atau pembuangan terbuka. Metode ini sangat tidak ramah lingkungan karena sampah hanya ditimbun tanpa pengolahan lebih lanjut. Akibatnya, sampah yang menumpuk di TPA bisa menimbulkan masalah besar, seperti pencemaran air tanah dan udara.

Sejarah TPA di Indonesia

Pada era sebelum tahun 1970-an, pengelolaan sampah di Indonesia masih sangat minim. Pertumbuhan kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menyebabkan timbulnya masalah sampah yang sangat signifikan. Saat itu, konsep TPA belum terbentuk secara jelas, dan sampah hanya dibuang ke area terbuka tanpa ada pengelolaan yang baik.

Pada akhir 1970-an, pemerintah mulai merencanakan sistem pembuangan sampah yang lebih terorganisir, dengan konsep awal pembangunan TPA di beberapa kota besar. Namun, metode yang digunakan pada saat itu adalah open dumping, di mana sampah hanya ditumpuk di area terbuka tanpa ada sistem pemadatan atau pemrosesan yang memadai. Hasilnya adalah penumpukan sampah yang tidak terkontrol, pencemaran udara, serta resiko kebakaran spontan akibat gas metana yang terperangkap dalam timbunan sampah.

Lalu pada kurun waktu 1990-an Pemerintah mulai beralih ke system Sanitary Landfill, terutama setelah beberapa kejadian tanah longsor sampah yang sampai merenggit korban jiwa.

TPA Leuwigajah di Bandung adalah salah satu contoh nyata dari kegagalan manajemen TPA. Pada tahun 2005, terjadi bencana longsor sampah di TPA ini yang menewaskan 143 orang. Tragedi ini membuka mata banyak pihak akan perlunya sistem pengelolaan sampah yang lebih aman dan terkontrol.

Regulasi Terkait Pengelolaan Sampah

Melihat masalah sampah yang semakin mendesak, pemerintah Indonesia mulai menerapkan beberapa regulasi penting. Salah satu regulasi yang paling mendasar adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang mengatur tentang pengelolaan sampah mulai dari sumbernya hingga proses pengolahan di TPA. Undang-undang ini juga menekankan pada pentingnya 3R—Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), dan Recycle (mendaur ulang)—untuk meminimalisir jumlah sampah yang berakhir di TPA.

Pada tahun 2012, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 yang lebih fokus pada pengelolaan sampah rumah tangga. Peraturan ini mendorong masyarakat untuk memisahkan sampah berdasarkan jenisnya di tingkat rumah tangga dan memastikan bahwa sampah organik dikelola dengan baik.

Lalu adalagi Permen PUPR No. 03 Tahun 2013 yang Mengatur standarisasi pengelolaan TPA agar lebih ramah lingkungan.Peraturan ini mendorong konsep reduce, reuse, recycle (3R), akan tetapi di lapangan masih banyak kendala yang dihadapi.

Selanjutnya ditataran daerah di Indonesia sudah banyak perda, perbub, perwal digunakan sebagai dasar dalam memulai pengelolaan sampah di daerah tersebut dan mengadopsi konsep bank sampah, di mana warga bisa menukarkan sampah yang masih bernilai ekonomis seperti botol plastik dan kertas dengan uang. Ini adalah langkah positif untuk mendorong budaya daur ulang di masyarakat. Namun butuh keseriusan lebih dalam prosesnya.

TPA dan Tantangan Saat Ini serta Inovasi yang bisa dilakukan

Meskipun ada regulasi yang cukup kuat, tantangan dalam pengelolaan TPA masih sangat besar. Banyak TPA di Indonesia kini sudah mendekati batas kapasitasnya. Contoh lainnya adalah TPA Sarimukti di Bandung yang kini telah melebihi kapasitas dan sangat rentan terhadap pencemaran lingkungan. Contoh lain Lagi TPA Blondo di Kab. Semarang yg sampai memerlukan pendanaan untuk perluasan dan perpanjangan waktu engelolaan tempat untuk TPA.

Selain itu, masih banyak TPA di Indonesia yang belum menggunakan teknologi terkini untuk mengelola sampah. Pencemaran air tanah akibat leachate dan pembentukan gas metana masih menjadi masalah besar. Leachate, yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah, berpotensi mencemari sumber air bersih di sekitar area TPA.

Selain itu, kesehatan warga yang tinggal di sekitar TPA juga terancam akibat paparan polusi udara dan gas metana yang berbahaya. Peningkatan penyakit pernapasan, terutama pada anak-anak dan orang tua, menjadi perhatian utama di wilayah-wilayah yang dekat dengan TPA besar. Lalu inovasi yg bisa diadopsi dari kisah sukses Negara maju dalam mengelola sampah antara lain :

1. Waste-to-Energy (WTE)

Waste-to-Energy (WTE) adalah salah satu inovasi yang semakin populer untuk mengelola sampah di TPA. Teknologi ini mengubah sampah menjadi energi, seperti listrik atau panas, melalui proses pembakaran atau pirolisis. WTE tidak hanya membantu mengurangi volume sampah di TPA, tetapi juga menghasilkan energi yang dapat digunakan untuk kebutuhan masyarakat. Selain itu, WTE membantu mengurangi emisi gas rumah kaca seperti metana yang dihasilkan oleh dekomposisi sampah organik di TPA.

Beberapa contoh teknologi WTE:

  • Insinerasi: Membakar sampah pada suhu tinggi untuk menghasilkan listrik dan panas.
  • Gasifikasi dan Pirolisis: Mengubah sampah organik menjadi syngas (gas sintesis) melalui proses kimiawi tanpa pembakaran langsung.

2. Sanitary Landfill dengan Sistem Pengelolaan Leachate dan Gas Metana

TPA modern menggunakan konsep sanitary landfill yang lebih canggih dibandingkan open dumping. Sistem ini melibatkan penutupan sampah dengan tanah setiap hari untuk meminimalisir kontak dengan udara, mencegah pencemaran, dan mengendalikan bau. Salah satu elemen penting dari sanitary landfill adalah sistem pengelolaan leachate (air rembesan sampah) dan gas metana.

Inovasi yang diterapkan di sanitary landfill:

  • Pemanfaatan gas metana: Gas metana yang dihasilkan dari dekomposisi sampah organik dapat ditangkap dan digunakan sebagai sumber energi. Banyak sanitary landfill kini sudah dilengkapi dengan sistem penangkap gas metana untuk dikonversi menjadi listrik.
  • Pengolahan leachate: Leachate yang biasanya mencemari tanah dan air tanah kini diolah melalui sistem filtrasi dan pemurnian sebelum dibuang ke lingkungan.

3. Maggot Cultivation (Budidaya Maggot)

Budidaya larva Black Soldier Fly (BSF) atau maggot cultivation adalah inovasi yang memanfaatkan kemampuan maggot untuk menguraikan sampah organik dengan cepat dan efisien. Maggot BSF dapat mengurai sampah organik hingga 80% dalam waktu singkat, sehingga volume sampah yang berakhir di TPA berkurang secara signifikan. Selain itu, hasil dari budidaya maggot berupa biomassa yang kaya protein bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk organik.

Budidaya maggot juga menghasilkan pupuk organik yang ramah lingkungan, sehingga mendukung pertanian berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.

4. Pengolahan Sampah Berbasis Daur Ulang (Material Recovery Facility – MRF)

TPA yang dilengkapi dengan fasilitas pengolahan sampah berbasis daur ulang atau Material Recovery Facility (MRF) memungkinkan pemisahan material yang masih memiliki nilai ekonomi seperti plastik, kertas, logam, dan kaca sebelum sampah benar-benar dibuang. Fasilitas ini memisahkan sampah yang dapat didaur ulang dari sampah organik dan non-organik lainnya, mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA sekaligus mendorong ekonomi sirkular.

5. Pemberian Insentif bagi pengelola Sampah dan Limbah

Hal ini harus dilakukan sebagai Apresiasi serta perwujudan kepedulian dalam pengolahan limbah yang lebih bertanggung jawab oleh masyarakat dan sector industry. Politik Anggaran dan Goodwill pemerintah tercermin dalam kebijakanya berkaitan dengan pengelolaan sam[ah baik tataran nasional maupun daerah.

Selain 5 hal diatas, masih banyak inovasi yang bisa digali lagi seperti Smart Waste Management dan  melibatkan penggunaan teknologi digital dan Internet of Things (IoT) , lalu ada Pengembangan Sistem Landfill Mining, dan Program Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat berjenjang yg masuk kedalam kurikulum pembelajaran dari usia dini sampai dengan lanjutan.

Circularva dan Solusi Pengelolaan Sampah

Circularva hadir dengan pendekatan inovatif untuk mengatasi permasalahan ini. Circularva adalah startup yang fokus pada pengelolaan sampah organik dengan menggunakan maggot cultivation atau budidaya larva Black Soldier Fly (BSF). Maggot BSF adalah solusi alami untuk mengurai sampah organik dengan cepat dan efisien.

Dalam proses ini, maggot BSF dapat mengurai 1 ton sampah organik dalam waktu kurang dari 24 jam, mengurangi volume sampah hingga 80%. Produk akhir dari proses ini adalah biomassa yang kaya akan protein, yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, serta pupuk organik yang bisa digunakan untuk pertanian.

Mengapa Maggot BSF Efektif?

Maggot BSF memiliki keunggulan alami yang membuatnya sangat efektif dalam pengelolaan sampah organik. Mereka mampu mengonsumsi berbagai jenis bahan organik, termasuk sisa makanan, limbah pertanian, dan bahkan kotoran hewan. Proses degradasi yang cepat ini sangat membantu dalam mengurangi volume sampah yang berakhir di TPA, serta menekan emisi gas metana yang dihasilkan oleh pembusukan sampah organik.

Circularva juga menciptakan beberapa produk turunan dari maggot BSF yang bernilai ekonomis lebih tinggi. Selain itu, residu dari proses penguraian maggot bisa digunakan sebagai pupuk organik yang kaya nutrisi, yang membantu meningkatkan produktivitas tanah dan mendukung pertanian organik.

Kolaborasi Circularva dengan Masyarakat dan Pemerintah dalam tajuk Pentahelix

Circularva tidak hanya berfokus pada pengembangan Ekosistem Maggot, tetapi juga pada kolaborasi dengan masyarakat lokal, Komunitas, NGO, Relawan, Media massa, Akademisi, Lembaga Swasta dan Pemerintah Daerah dalam tajuk Penthelix. Circularva berperan menjadi agregrator sekaligus orchestrator dalam TJSLP (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan) di berbagai daerah.

Circularva telah membangun jejaring bank sampah organic dan jejaring komunitas pembudidaya maggot BSF di mana masyarakat diajarkan untuk memisahkan sampah organik dari sampah anorganik lalu sampah organik ini kemudian diolah melalui maggot sehingga akan berdampak pada berkurangnya beban TPA dan menciptakan nilai ekonomi baru.

Circularva meyakini bahwa solusi sampah yang berkelanjutan hanya bisa tercapai melalui kerjasama yang erat antara masyarakat, pemerintah, sektor swasta, dan berbagai pihak.

Menuju Perubahan Perilaku

Solusi jangka panjang dari pengelolaan sampah bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal perubahan perilaku masyarakat. Circularva berkomitmen untuk terus mendorong masyarakat agar lebih bijak dalam mengelola sampah yang mereka hasilkan. Dengan pendekatan edukasi dan partisipasi aktif, Circularva percaya bahwa masyarakat bisa menjadi agen perubahan dalam menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat.

Perubahan perilaku ini melibatkan upaya untuk mengurangi produksi sampah dari sumbernya, meningkatkan budaya daur ulang, serta memahami bahwa setiap tindakan kita terhadap sampah memiliki dampak besar terhadap lingkungan. Circularva berperan sebagai fasilitator dalam proses ini, menyediakan platform dan solusi yang memungkinkan masyarakat untuk berkontribusi dalam pengelolaan sampah yang lebih baik.

Kesimpulan

Sejarah TPA dan pengelolaan sampah di Indonesia menunjukkan bahwa masalah ini sangat kompleks dan memerlukan solusi yang inovatif. Dengan adanya regulasi yang mendukung serta inisiatif dari startup seperti Circularva, kita bisa melihat harapan baru dalam pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan.

Circularva bukan hanya tentang teknologi dan ekosistem hijau, tetapi juga tentang menciptakan perubahan perilaku yang berkelanjutan dalam masyarakat. Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih bersih, hijau, dan sehat.

Sumber :

  1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Pengelolaan Sampah Nasional 2020.” (2021).
  2. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga.
  3. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2014
  4. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
  5. Fajar, M. “Peran TPA dalam Pengelolaan Sampah di Kota Besar.” (2023).
  6. Circularva.id – “Maggot Cultivation for Sustainable Waste Management.” (2024).

Dimas Herdy Utomo

Co-Founder Circularva

Leave a Comment